Beranda | Artikel
Perbuatan Yang Tidak Memiliki Konsekuensi
Kamis, 27 Agustus 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Erwandi Tarmizi

Perbuatan Yang Tidak Memiliki Konsekuensi merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. dalam pembahasan Kitab Zadul Mustaqni. Kajian ini disampaikan pada Kamis, 8 Muharram 1442 H / 27 Agustus 2020 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Perbuatan Yang Tidak Memiliki Konsekuensi

Kita masih dalam bab Ghashab pada akhir pembahasan. Sebelumnya Mualif telah menjelaskan tentang bila hewan ternak melakukan tindakan yang merusak atau menyebabkan hilangnya harta orang lain. Sebelumnya sudah dijelaskan kalau umpamanya hewan ternak memakan yang di bagian depannya atau menanduk dengan kepalanya di depannya, maka pemiliknya mengganti atau memberikan jaminan kompensasi terhadap perbuatan dari hewan ternak tadi. Akan tetapi kalau di bagian belakangnya, ini tidak, karena ini di luar kemampuan dari si pemilik hewan.

Kemudian seluruh diluar hal tersebut, maka pihak pemilik hewan ternak tidak menggantinya, tidak memberikan kompensasi. Karena memang pada dasarnya hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

العَجْمَاءُ جُبَارٌ

“Perbuatan hewan ternak tidak ada konsekuensi.”

Karena hewan ternak tidak memiliki akal. Akan tetapi pemiliknya lah yang memberikan konsekuensi bila ada unsur kelalaian dalam menangani hewan ternak tadi. Begitu juga pada saat sekarang ini selain hewan ternak, mungkin yang banyak kita lihat adalah manusia tidak berakal atau orang gila dimana pihak keluarganya melepaskan begitu saja. Bila dia melakukan tindakan yang merusak, misalnya dia pukul anak-anak, atau dia melempar sesuatu dan mengenai kaca mobil orang. Memang orang anak dan orang gila tidak berdosa. Akan tetapi tindakannya yang merusak ini tetap harus ada kompensasi. Tentu tidak mungkin orang gila atau anak kecil ini yang bayar, yaitu adalah pihak orang tuanya.

Begitu juga seseorang membunuh sesuatu yang menyerangnya, baik yang menyerangnya itu adalah hewan ataupun manusia. Bila memungkinkan untuk menghindari atau mengecilkan resiko daripada penyerang, misalnya kambing menyerang dan memungkinkan dia untuk tidak sampai membunuh kambing tadi, cukup umpamanya dilempar dengan batu sehingga kambing tidak mati, ini cukup. Tapi kalau kambing itu sebetulnya tinggal dia pukulkan kayu ke susuatu sehingga bunyi dan membuat kambing lari tapi ternyata kambing itu dikejarnya dengan kayu sehingga kambing mati, tentu ini akan ada jaminan.

Begitu juga manusia yang melakukan tindak kesewenang-wenangan seperti begal atau merampok menggunakan senjata. Bila Anda memungkinkan untuk menghindari tindakan kejahatannya dengan yang lebih ringan, umpamanya dengan melukai kakinya dia berhenti, selesai. Tapi kalau dia tetap melawan, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Rasulullah, seseorang ingin mengambil hartaku dan atau ingin membunuhku,” maka kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Lawan, jangan dibiarkan” Lalu orang itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, bagaimana kalau dia membunuhku?” Rasulullah berkata: “Kalaupun engkau meninggal dibunuh oleh begal tadi, engkau mati syahid.” Orang itu bertanya lagi: “Bagaimana Ya Rasulullah, kalau aku yang membunuh dia?” Rasulullah bersabda: “Dia dalam neraka.” (HR. Muslim)

Maka orang yang dzalim tadi, pada dasarnya kalau Anda membunuh orang dengan sengaja, pembunuhnya masuk neraka kemudian selain masuk neraka ada sanksi di dunia dengan di Qishas. Kalau tidak sengaja, maka dia harus membayar diyat dengan 100 ekor unta. Akan tetapi dalam kasus ini dimana dia yang menyerang, Anda hanya membela diri, maka didalam Islam Anda tidak ada konsekuensi apapun juga.

Kemudian sesuatu yang tidak ada konsekuensinya, tidak ada kompensasi, tidak ada penggantian bila Anda merusaknya atau menghancurkannya adalah memecahkan seruling, dan disamakan dengan ini seluruh alat musik. Tentu Anda tidak mungkin masuk ke rumah orang mengambil serulingnya, ambil gitarnya, ambil orgennya kemudian Anda pecahkan, tentu tidak mungkin. Dalam kasus umpamanya Anda sebagai seorang guru, kemudian anak membawa gitar ke sekolah, lalu Anda ambil dan Anda pecahkan, maka Anda tidak wajib menggantinya secara syar’i.

Ini kesepakatan para ulama 4 mazhab. Dalam madzhab Hanafi mengatakan sepakat alat musik hukumnya haram, bila dirusak tidak ada konsekuensi. Al-Qurtubi, madzhab Maliki juga mengatakan ijma’ para ulama sebelumnya bahwa alat musik hukumnya haram. Bahkan beliau menyampaikan bahwa pernyataan dari Ibnu Hazm yang mengatakan semua hadits yang mengharamkan alat musik adalah palsu, maka kata Al-Qurtubi bahwa perkataan Ibnu Hazm in ibatil karena dia menentang ijma’ sebelumnya. Kalau belum ada ijma’ lalu ada khilaf, maka khilaf ini dibenarkan. Tapi kalau sebelumnya sudah ada ijma’ lalu muncul generasi setelahnya yang menentang ijma’ ini, maka pendapat ini tidak dianggap.

Dalam madzhab Syafi’i, Al-Haitami menukil perkataan Imam An-Nawawi dan Rofi’i yang mereka berdua menukil ijma’ bahwa seluruh ulama madzhab Syafi’i mengharamkan alat musik tadi. Karena statusnya haram, bila dihancurkan maka tidak ada kompensasi atau kewajiban untuk menggantinya.

Dan juga salib. Tapi tentu kondisinya tidak seperti di negara kita. Ini kalau di negara muslim yang orang-orang kafir tidak boleh menampakkan syiar agamanya di hadapan umum. Tapi kalau di rumah dia, terserah dia. Karena orang Nasrani dibolehkan tinggal di dalam negara muslim. Kalau di rumahnya ada salib, Anda masuk kerumahnya lalu Anda patahkan, ini tentu dalam negara Islam pun tidak dibolehkan. Tapi kalau dia kemana-mana membawa salib di dadanya atau di tangannya, maka seorang muslim ketika melihatnya boleh mematahkannya dan tidak ada konsekuensi harus mengganti. Ini tentu kita berbicara dalam konteks negara Islam, bukan dalam konteks negara Indonesia sekarang, tentu ada hukum yang berlaku perundang-undangan di negara Indonesia.

Dan begitu juga bila Anda pecahkan bejana yang terbuat dari emas dan perak. Bejana tempat makan, tempat minum, piring, gelas, sendok yang terbuat dari emas, boleh dipecahkan tapi emasnya jangan diambil. Artinya kalau dia dalam bentuk piring emas, harganya umpamanya 2 Milyar, karena ada nilai pembuatannya, ada nilai seninya, ada harga emasnya. Ketika Anda pecahkan, itu yang dinilai hanya emasnya. Kalau berat emasnya tadi umpamanya 1 Kg, Anda hanya wajib mengganti emas 1 Kg. Adapun nilai pembuatannya, Anda tidak wajib menggantinya. Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharamkan makan dan minum dari bejana emas dan perak. Dan Rasulullah mengatakan:

إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

“Orang yang makan dan minum dari gelas dan bejana emas dan perak sesungguhnya yang masuk ke dalam perutnya adalah api neraka yang menyala-nyala.”

Dan bejana khamr, itu tidak ada nilainya. Khamr adalah sesuatu yang haram. Misalnya seseroang membawa dalam botolnya. Khamrnya tidak dinilia, tapi karena tempat khamr itu adalah bejana, maka bejananya pun tidak ada nilainya, Anda tidak wajib menggantinya.

Bagaimana penjelasan selanjutnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian

Download mp3 kajian yang lain di mp3.radiorodja.com


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48929-perbuatan-yang-tidak-memiliki-konsekuensi/